Laman

Selasa, 07 Juni 2011

Berjuang Sekuat-kuatnya Demi Keridhaan Allah

Seseorang yang ingin bersikap ikhlas dalam situasi apa pun, dihadapkan pada keharusan berjuang untuk mendapatkan keridhaan Allah. Perintah Allah tentang hal ini disebutkan di dalam ayat,

“... maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (al-Maa`idah [5]: 48)

Ayat lainnya menyatakan,

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathir [35]: 32)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, ada orang-orang yang “ambivalen” meski mereka percaya kepada Allah dan ada pula orang-orang “yang saling mengalahkan dalam kebaikan”. Seorang muslim yang ikhlas akan berusaha untuk bersegera dalam perbuatan baik. Dalam setiap detik hidupnya, ia berjuang untuk melakukan apa-apa yang membuat Allah ridha dan senang. Ia menggunakan semua yang ia miliki untuk menjadi salah satu hambanya yang saleh.
Perbedaan antara mereka yang ambilaven dan mereka yang berlomba satu sama lain dalam kebaikan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Seseorang dihadapkan pada banyak peristiwa sepanjang hidupnya. Ia selalu dihadapkan pada banyak pilihan. Ia harus memutuskan bagaimana berhadapan dengan masalah tersebut, apa yang harus dilakukan, dan sikap moral apa yang harus diterapkan? Pilihannya bergantung sepenuhnya pada kesadaran hatinya. Seorang mukmin sejati sangat berhati-hati dan waspada terhadap pilihan-pilihan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama tersebut. Jadi, ia menolak pilihan itu tanpa syarat dan akan mengambil yang paling dekat dengan Allah serta mendapatkan balasan yang paling besar di dalam surga. Kemampuannya untuk mematuhi kesadaran hatinya saat membuat keputusan adalah apa yang membuatnya mendapatkan keikhlasan. Di dalam Al-Qur`an, orang-orang beriman yang paling utama dalam perbuatan baik diabadikan dalam ayat,

“Sesungguhnya, orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (al-Mu`minuun [23]: 57-61)

Terlebih lagi, jika seseorang dihadapkan pada ribuan pilihan, mudah baginya untuk mengenal pilihan mana yang membuat Allah ridha dan senang. Pilihan ini jelas dan menjadi bukti bagi orang yang mencari cara mendekati Allah dan melihat apa yang terjadi padanya dengan kacamata keimanan. Sebagai contoh, ketika seseorang dipaksa untuk memilih sebuah cara untuk menghabiskan waktunya, ia akan dihadapkan pada sejumlah alternatif. Ia dapat menghabiskan seluruh waktunya untuk kegiatan olah raga atau menonton televisi di rumah. Ia bisa mengatakan bahwa aktivitas-aktivitas tersebut menyenangkan Allah karena olah raga penting untuk kesehatan, sedangkan menonton televisi itu menambah pengetahuannya. Tentu saja, berolah raga dan menonton televisi itu bermanfaat dan penting. Akan tetapi, menghabiskan satu hari untuk berolah raga atau menonton televisi tidak dapat dinilai berhati-hati bagi seorang mukmin sejati jika ia menyadari bagaimana pola hidup-pola hidup yang tidak religius menjadi semakin lazim setiap hari; sementara perempuan, orang tua-orang tua, dan anak-anak sedang berada di bawah bayang-bayang pembunuhan di wilayah-wilayah muslim hanya karena mereka mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah,” peperangan, pertempuran, dan degenerasi moral terjadi di mana-mana. Tak diragukan lagi, menyebarkan kesempurnaan ajaran moral Al-Qur`an kepada orang lain dan berusaha menjadi alat supaya mereka bisa mendapatkan balasan di hari akhir, menjadi aktivitas yang selalu diinginkan olehnya. Ini adalah tanggung jawab yang harus dipikirkan oleh setiap muslim. Semua yang memilih alternatif ini akan melakukan amal saleh dan pengabdian agama demi kehidupannya di hari kemudian. Tetapi selain itu, ia juga akan mendapatkan balasan yang amat menyenangkan karena menjalankan agama sesuai dengan ketetapan ayat-ayat Al-Qur`an, seperti yang menjadi alat penyelamat bagi orang lain.
Allah menawarkan contoh berikut.

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (at-Taubah [9]: 19-20)

Seperti yang dinyatakan dalam ayat ini, memberi air untuk orang-orang yang sedang berhaji atau menjaga Masjidil Haram juga merupakan perbuatan baik yang tepat untuk mendapatkan keridhaan Allah. Bagaimanapun juga, harus ditekankan bahwa orang-orang beriman yang membatasi tugas-tugas agama pada tugas-tugas tertentu saja—meski memiliki tanggung jawab lainnya—tidak boleh berpikir bahwa perbuatan itu cukup. Perbuatan ini tidak cukup jika dibandingkan dengan perbuatan orang lain yang berjuang dengan mengorbankan harta milik mereka dan hidup karena Allah. Bukanlah merupakan keikhlasan, memilih perbuatan yang kurang patut dihargai saat orang lain berpikir bahwa ada yang lebih sesuai dengan nilai moral Al-Qur`an. Ini menunjukkan bahwa ia semata-mata hanya peduli pada kenyamanan dan keamanan dirinya saja. Bagaimanapun juga, memilih kesempatan untuk mendapatkan keridhaan Allah atas hal-hal yang ada di dunia ini, merupakan pilihan yang sesuai dengan ajaran Al-Qur`an. Kesulitan tingkat amalan yang berseberangan dengan keinginan seseorang tidaklah penting. Pemahaman yang demikian memberikan keikhlasan kepada seorang mukmin sejati. Demikian pula amalan-amalan saleh, semua itu membawanya menuju keridhaan Allah, kasih sayang, dan balasan-Nya di dalam surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar